HEADLINE
1 2 3 4 5

Rabu, 16 Juni 2010

Penangkaran Rusa Bawean Butuh Investor

POTENSI ANDALAN BAWEAN (1)

Rusa Bawean (Latin: axis kuhlii) adalah satwa endemik Pulau Bawean. Ironisnya, satwa yang mestinya bisa menjadi ikon Jawa Timur seperti komodo ikon NTT tidak semua orang indonesia mengetahui keberadaannya. Justru, sering orang dari mancaegara berkunjung ke Bawean untuk penelitian maupun sekedar ingin tahu rusa bawean.

OLEH ASEPTA YP

Sudirman, adalah salah satu dari sedikit orang Bawean yang hingga kini masih peduli dengan populasi rusa bawean. Lelaki paruh baya itu adalah pengelolah satu-satunya penangkaran rusa bawean di Pulau Putri ini (julukan Pulau Bawean). Penangkaran yang berada di Desa Pudakit Barat Kec. Sangkapura, Bawean itu, dikelola dengan menggunakan uang dari kantong pribadi Sudirman. Tidak sepeserpun pemerintah setempat memberikan bantuan untuk penangkaran fauna yang sebernarnya merupakan potensi yang bisa dikenalkan hingga mancanegara itu.

“Melihat kondisi penangkaran saat ini, belum waktunya kita mengitung secara komersial, untuk biaya operasinalnya saja, saya harus mengeluarkan ongkos Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan pengunjungnya hanya ada saat-saat hari libur, seperti hari raya, tahun baru, atau liburan sekolah, jadi jika dihitung masih minus. Tapi saya percaya, rusa bawean ini adalah aset termahal, tidak hanya di indonesia tapi juga di mancanegara, karena rusa ini habitat asliya di Bawean, buktiya saat ini orang dari luar negeri datang ke sini,” papar pria yang hanya lulusan SD ini.

Mayoritas para pendatang dari mancaegara itu berasal dari Polandia, Australia, Belgia, Perancis, Jepang, Australia, Malaysia, dan Singapura. Kedatangan mereka ada yang sekedar berwisata ada juga yang melakukan penelitian. “Tapi kedatangan pengunjung dari luar negeri itu tidak bisa dipastikan berapa jumlah tiap tahunnya,” jelas Sudirman sambil menyayangkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat Jawa Timur yang seakan acuh terhadap populasi rusa.

“Mungkin masyarakat di Indonesia masih banyak yang belum mengetahui jika di Jawa Timur ada rusa asli Bawean, tentu ini tidak lepas dari peran pemerintah memperkenalkan rusa bawean ke publik,“ imbuh lelaki berusia 52 tahun itu.

Saat ini, Sudirman berharap ada investor yang mau bekerja sama mengembangkan penangkaran rusa bawean ini menjadi tempat wisata pendidikan, penelitia, dan ekowisata. Secara bertahap, penangkaran ini akan diperlebar dari yang saat ini luasnya hanya 0,7 hektar menjadi empat hektar dari luas. Menurut dia, jumlah yang tidak lebih dari satu hektar ini sangat sempit untuk populasi rusa bawean yang saat ini teah berjumlah 20 ekor itu, sebelas diantaranya betina, sedangkan sembilan sisanya jantan.

“Tahun 2003 lalu, awal mula penangkaran ini dirintis hanya ada dua ekor rusa, dua rusa yang terlantar ke kampung itu saya rawat di kandang yang saya bangun di rumah saya di Pudakit Barat, tidak jauh dari penangkaran saat ini. Tidak lama kemudian, ada tiga ekor rusa lagi yang terantar ke kampung, selanjutnya saya bangun penangkaran ini untuk merawat lima ekor rusa asal hutan itu. Dari lima ekor rusa itu sekarang menjadi 20 ekor, lima belas ekor rusa lainnya hasil perkembangbiakan alami di penangkaran ini,” paparnya.

Lebih lanjut Sudirman menjelaskan, selain perluasan areal kandang penangkaran, rencananya di areal penagkaran ini akan dibangun kolam renang, lesehan yang menyajikan makanan khas Bawean, serta taman bermain untuk anak-anak. “Untuk pengunjung anak-anak, selain tujuan utama mengenalkan rusa Bawean, kita juga akan mendekatkan mereka dengan lingkungan alam, mengajak mereka peduli dengan penghijauan, kita ajak mereka menanam tanaman di sekitar areal penangkaran ini,” papar pria yang juga mantan guru di salah satu sekolah dasar di Surabaya itu.

Untuk pengembangan penangkaran rusa bawean miliknya itu, Sudirman mengaku itu adalah rencana bertahap, lantaran keterbatasan dana. Karena itu dia berharap ada bantuan dari pemerintah sekaligus juga investor yang berkenan diajak bekerja sama untuk membangun agar populasi rusa Bawean tidak punah, tapi justru dikenal menjadi salah satu ikon Indonesia di dunia internasional.

Tapi, untuk saat ini lagi-lagi Sudirman menyayangkan sikap pemerintah kabupaten Gresik yang seakan tidak peduli dengan keberadaan rusa bawean, sebab peran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan. Dia mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat.

“Padahal kami memberikan sumbangan berupa retribusi dari karcis masuk pengunjung ke penangkaran. Karcis masuknya Rp 3.000 per orang, sedangkan pengunjung saat liburan bisa mencapai enam ribu orang. Meskipun sedikit tapi kami memberikan sumbangan untuk PAD (pendapatan asli daerah) kabupaten, tapi apa yang diberikan pemkab Gresik untuk penangkaran ini?” cetusnya.

Bantuan yang pernah dia terima dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor berupa pengembangan kandang rusa, kemudian bantuan dari Universitas Gajah Mada (UGM) berupa penkaderan, dan bantuan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur.

Semenatara, cukup susah menuju penangkaran yang berada di kaki gunung Gadung dan berbatasan langsung dengan hutan konservasi Bawean itu. Bagi pngunjung luar Bawean terpaksa harus menyewa kendaraan pribadi, baik mobil atau sepeda motor, atau naik ojek untuk bisa menuju penangkaran yang sebenarnya hanya berjarak sekitar enam kilometer dari Pelabuhan Sangkapura itu, sebab tidak ada angkutan umum menuju ke sana.

Jalanya terjal dan sempit, apalagi sekitar satu kilometer sebelum lokasi penangkaran jalannya tidak beraspal, hanya bebatuan dan tanah, tidak jarang juga becek dan licin ketika musim hujan. Menurut Sudirman, ini adalah bukti kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pengembangan penangkaran ini. “Jalan itu dulu dibangun atas swadaya masyarakat setempat,” tandas pria yang juga pengelola Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan yaitu, Lembaga Masyarakat Berwawasan Hayati (Lembah) itu.

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Suwarto mengatakan, semua jenis rusa, ketika dipamerkan tanpa diberi nama, orang menilainya akan sama saja jenis-jenis rusa itu. Untuk itu, diperlukan promosi untuk mengenalkan rusa bawean ini kepada masyarakat.

Untuk penangkaran rusa bawean di Pudakit Barat ini, Suwarto menilai ada perkembangan, artinya berhasil mengembangbiakkan meskipun jumlahnya sedikit. “Karena penangkaran ini satu-satunya di Pulau Bawean perlu ada keterlibatan pemerintah setempat untuk mengenalkan ke masyarakat menjadi objek wisata terbatas untuk penelitian dan pendidikan,” kata pria yang juga mantan Kabid TU BKSDA Jawa Timur itu saat berkunjung ke penangkaran rusa bawean di Pudakit Barat, Sabtu (24/4).

Selain itu, Suwarto mengusulkan kepada pengelola penangkaran rusa bawean agar mencari investor untuk pengembangan selanjutnya. Dia juga meminta pengelola agar penangkaran itu diusulkan ke pemerintah setempat menjadi salah satu bagian jika nanti ada paket-paket wisata di Bawean. “Materi sudah ada, tinggal upaya pemerintah mengembankannya,” kata Suwarto sambil menegaskan ketika infrastruktur jalan dan listrik sudah bagus, pariwisata di Bawean tidak akan kalah dengan Bali.

Kepala Resort BKSDA Bawean, Ponimon mengatakan, berdasarkan penelitian terakhir kerjasama antara UGM dengan BKSDA tahun 2005, populasi rusa bawean ada 300 lebih. Jumlah ini memang berkurang dibanding dulu seblum tahun 1932. Berkurangnya populasi rusa bawean ini karena ada perubahan habitat. Saat ini, populasi rusa bawean di hutan konservasi lebih banyak tinggal di daerah Gunung Besar, Gunung Cina, dan Komalasa.

“Pada zaman Belanda, hutan di Bawean ini adalah hutan lindung, jadi populasi rusa bawean ini berkembangbiak dengan pesat dan mencapai ribuan, tapi kemudian tahun 1932 hutan di bawean ini diubah menjadi hutan produksi, sebagian tanaman di lahan di hutan Bawean ini diganti dengan tanaman jati, jadi habitat rusa baawean semakin sempit, dan ini berpengaruh dengan perkebangbiakannya, bahkan banyak rusa bawean waktu itu yang terlantar ke kampung, sehingga ditangkap oleh warga sekitar,” jelas Ponimon.

Namun kemudian tahun 1979 diubah lagi dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Dikatakan Poniman, perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi ini atas jasa Rolic, peneliti asal Amerika dari lembaga konservasi world wildlife fund (WWF), Rolic meneliti populasi rusa bawean di sini dengan didampingi Mohammad Taha yang saat ini menjadi staf Ponimon di Resort BKSDA Bawean.

Sedangkan Mohammad Taha menceritakan, keberangkatan Rolic ke Bawean waktu itu setelah dia membaca buku yang ditulis oleh Blowd, orang dari Belanda pada era penjajahan Belanda dulu. Di buku Blowd itu dituliskan ada rusa yang di dunia ini keberadaannya hanya di Bawean. Karena itu Rolic kemudian tertarik dan datang ke Bawean untuk meneliti rusa bawean.

“Saat itu mulai tahun 1977, selama dua tahun. Setiap petak di hutan Rolic memberi plot, setiap hari pula Rolic masuk hutan dan memeriksa plot-plot tersebut. Dengan telaten dia mencatat jejak kaki rusa dan kotoran rusa. Baik jejak kaki maupun kotorannya dia ukur dan timbang. Dari penelitian Rolic tahun itu kemudian diketahui ada sekitar 200 hingga 300 ekor rusa bawean,” cerita Mohammad Taha.

Karena populasi rusa bawean terjadi kemerosotan yang signifikan jika dibandingkan dengan zaman Belanda, waktu itu Rolic mengusulkan hutan Bawean yang telah diubah menjadi hutan produksi, diubah lagi menjadi hutan suaka alam.



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com