Butet Kartaredjasa

Setelah Jakarta, pentas dan peluncuran buku Presiden Guyonan karya Butet Kartaredjasa dilakukan di Surabaya, di Petra Togamas, Pucang Anom, Kamis (11/12). Sambutan masyarakat, baik dari kalangan seniman, pendidik, pengusaha hingga rohaniwan tampak meriah.
Hadir juga Walikota Surabaya, Drs Bambang Dwi Hartono yang sekaligus membuka Petra Togamas. Pentas monolog dengan tokoh Mas Celathu, merupakan rubrik khusus “Celathu” dimuat Mingguan Harian Suara Merdeka, September 2007 - September 2008.
Isinya berupa kritik sosial yang menggelitik dan dibawakan lewat monolog yang jenaka serta nyindir, khas Butet. Bagi sebagian orang luar, sebutan celathu cukup asing. Dalam bahasa Jawa, celathu berarti ‘nyelatuk’ atau ‘menyambar omongan.’
Mas Celathu adalah tokoh yang selalu muncul di 53 artikel dalam Presiden Guyonan. Dia suka menyelatuk peristiwa sosial di luar dirinya yang lagi hangat dan terjadi di Indonesia, “Negara yang tergagap-gagap membangun kehidupan demokrasi pasca perubahan politik 1998,” kata Butet.
Pada monolog Presiden Guyonan, Butet mengutip tujuh judul, antara lain Raja Godhong, Pensiunan Aktor, Terapi Guyonan, Kebangkrutan Nasional, Tangis Independen, Bonus Khusus, dan Mengutuk Ponsel. Semua dirangkai dalam alur monolog yang santai.
Raja Godhong mulanya adalah predikat untuk melecehkan sebuah kekuasaan yang semu, sebagaimana orang mengistilahkan keberanian semu dengan menyebut “Macan Kertas.”
“Dunia ini memang aneh. Sementara banyak orang bernafsu menjadi raja semu alias imitasi, eh malah ada raja beneran ingin turun derajatnya dengan misalnya menjadi presiden.” kata Butet.
Memang ironis, tambahnya, Raja sebagai pemimpin budaya yang mempunyai derajat kedudukan lebih agung jika dibanding dengan jabatan politik, tenyata masih tergiur kursi yang cuma berusia lima tahun.
Kemudian dalam Kebangkrutan Nasional diceritakan, bagi manusia macam Sophan Sophian yang tulus dan bersungguh-sungguh ingin menumpahkan bakti bagi bangsanya, tak betah di antara gemuruh para kurawa yang cecakilan main siasat dan akal-akalan.
Sejarah pun mencatat, Sophan mengundurkan diri sebagai anggota parlemen. “Sebuah sikap dan pilihan langka, karena lazimnya orang pengin berlama-lama nongkrong di kursi Senayan.
Dalam Tangis Independen, Mas Celathu punya ide agar dibentuk KAMI (Komite Air Mata Independen). Tuganya mendeteksi setiap air mata pejabat publik yang belakangan ini gemar menangis.
Melihat film cinta, para pejabat bisa terharu sampai matanya berkaca-kaca. Tapi melihat rakyat yang menderita busung lapar entah ngumpet di mana air matanya.
Dalam Bonus Khusus, Mas Celathu mengangkat tahanan koruptor yang berseragam khusus. Dia menyarankan para koruptor itu diperlakukan seperti maling biasa, menyapu jalan protokol, mengangkut sampah, membersihkan WC umum dan lainnya.
Butet juga menyindir atau nyrempet beberapa pensiunan jendral yang kini menjadi Capres. Saking ngebet pingin jadi Presiden, ada yang rela makan nasi aking, disyuting dan dibikin iklan.
“Ada juga pensiunan jenderal yang tiba-tiba bersahabat dengan petani. Saya Butet Karbiyanto, temannya para petani, mengajak rakyat Indonesia untuk bersedia saya dobosi,” ujar Butet menirukan gaya iklan Capres yang tayang di televisi.
Setelah bermonolog, Butet membangikan bukunya kepada beberapa orang, di antaranya pada Walikota, pengelola Togamas, Johan Budhie Sava, Suparto Brata, dan lainnya.
Isinya berupa kritik sosial yang menggelitik dan dibawakan lewat monolog yang jenaka serta nyindir, khas Butet. Bagi sebagian orang luar, sebutan celathu cukup asing. Dalam bahasa Jawa, celathu berarti ‘nyelatuk’ atau ‘menyambar omongan.’
Mas Celathu adalah tokoh yang selalu muncul di 53 artikel dalam Presiden Guyonan. Dia suka menyelatuk peristiwa sosial di luar dirinya yang lagi hangat dan terjadi di Indonesia, “Negara yang tergagap-gagap membangun kehidupan demokrasi pasca perubahan politik 1998,” kata Butet.
Pada monolog Presiden Guyonan, Butet mengutip tujuh judul, antara lain Raja Godhong, Pensiunan Aktor, Terapi Guyonan, Kebangkrutan Nasional, Tangis Independen, Bonus Khusus, dan Mengutuk Ponsel. Semua dirangkai dalam alur monolog yang santai.
Raja Godhong mulanya adalah predikat untuk melecehkan sebuah kekuasaan yang semu, sebagaimana orang mengistilahkan keberanian semu dengan menyebut “Macan Kertas.”
“Dunia ini memang aneh. Sementara banyak orang bernafsu menjadi raja semu alias imitasi, eh malah ada raja beneran ingin turun derajatnya dengan misalnya menjadi presiden.” kata Butet.
Memang ironis, tambahnya, Raja sebagai pemimpin budaya yang mempunyai derajat kedudukan lebih agung jika dibanding dengan jabatan politik, tenyata masih tergiur kursi yang cuma berusia lima tahun.
Kemudian dalam Kebangkrutan Nasional diceritakan, bagi manusia macam Sophan Sophian yang tulus dan bersungguh-sungguh ingin menumpahkan bakti bagi bangsanya, tak betah di antara gemuruh para kurawa yang cecakilan main siasat dan akal-akalan.
Sejarah pun mencatat, Sophan mengundurkan diri sebagai anggota parlemen. “Sebuah sikap dan pilihan langka, karena lazimnya orang pengin berlama-lama nongkrong di kursi Senayan.
Dalam Tangis Independen, Mas Celathu punya ide agar dibentuk KAMI (Komite Air Mata Independen). Tuganya mendeteksi setiap air mata pejabat publik yang belakangan ini gemar menangis.
Melihat film cinta, para pejabat bisa terharu sampai matanya berkaca-kaca. Tapi melihat rakyat yang menderita busung lapar entah ngumpet di mana air matanya.
Dalam Bonus Khusus, Mas Celathu mengangkat tahanan koruptor yang berseragam khusus. Dia menyarankan para koruptor itu diperlakukan seperti maling biasa, menyapu jalan protokol, mengangkut sampah, membersihkan WC umum dan lainnya.
Butet juga menyindir atau nyrempet beberapa pensiunan jendral yang kini menjadi Capres. Saking ngebet pingin jadi Presiden, ada yang rela makan nasi aking, disyuting dan dibikin iklan.
“Ada juga pensiunan jenderal yang tiba-tiba bersahabat dengan petani. Saya Butet Karbiyanto, temannya para petani, mengajak rakyat Indonesia untuk bersedia saya dobosi,” ujar Butet menirukan gaya iklan Capres yang tayang di televisi.
Setelah bermonolog, Butet membangikan bukunya kepada beberapa orang, di antaranya pada Walikota, pengelola Togamas, Johan Budhie Sava, Suparto Brata, dan lainnya.
Diterbitkan di Surabaya Post (13 Desember 2008)



0 comments:
Posting Komentar