HEADLINE
1 2 3 4 5

Rabu, 16 Juni 2010

Tikar Pandan Bawean Diminati Investor Asing


POTENSI ANDALAN BAWEAN (5)


Tikar pandan khas Bawean menjadi peluang usaha. Selama ini, pesanan dari mancanegara sebanarnya selalu ada, tapi karena tidak dilengkapi dengan teknologi produksi yang memadai, sejumlah tawaran itu tidak disanggupi oleh para pengrajin tikar pandan di Gunungteguh.



OLEH ASEPTA YP

Beberapa ibu-ibu di Gunungteguh membuat kerajinan tikar pandan untuk mendapatkan uang tambahan. Dan karena hanya dianggap sebagai kerja sambilan, usaha tikar pandan tidak tergarap dengan maksimal, padahal beberapa tahun lalu sejumlah investor asing, khususnya dari Singapura meminta dipasok tikar pandan asli Bawean untuk dipasarkan di beberapa negara.

“Mereka tertarik pada tikar pandan Gunungteguh karena tikar ini dikerjakan dengan sangat telaten, selain itu jika dipakai pada musim dingin, tikar ini terasa hangat. Dan sebaliknya, ketika dipakai pada musim panas akan terasa sejuk,” kata Hasbullah, Kepala Desa Gunungteguh.

Mungkin kerjasama ini akan terus berlanjut hingga sekarang jika warga Gunungteguh mampu menyanggupi permintaan yang diajukan oleh investor asal Singapura itu. Mereka meminta ukuran tikar dengan panjang 2,5 meter dan lebar 2 meter. Masalahnya di sini, ibu-ibu setempat tidak bisa menyanggupi permintaan investor karena keterbatasan ukuran bahan baku pandan.

“Ketika saya kumpulkan ibu-ibu pengrajin tikar pandan ternyata mereka tidak sanggup, karena mereka kesulitan bahan baku pandan yang panjangnya bisa digunakan untuk membuat tikar selebar dua meter. Sebab, lebar tikar, tergantung dari panjang pandan, sebab dianyam miring, sedangkan untuk panjang tikar, kita bisa leluasa,” jelas Hasbullah yang menjabat sebagai kepala desa Gunungteguh sejak tahun 1999 lalu itu.

Saat itu, tambah Hasbullah, dia bersama ibu-ibu pengrajin tikar pandan pernah mengusahakan dengan menyambung panjang pandan dengan harapan lebar tikar yang dihasilkan bisa hingga dua meter. Tapi hasilnya mengecewakan, mereka maksimal bisa menghasilkan tikar dengan lebar 180 centimeter.

“Agar bisa menghasilkan tikar dengan panjang 180 centimeter dibutuhkan panjang pandan dua meter lebih, karena anyamannya miring, itu saja pengerjaannya sangat susah dan membutuhkan waktu hingga dua bulan, sebab hanya digarap dengan tangan, alias manual. Selain itu, tidak ada daun pandan yang panjangnya dua meter lebih, jadi harus disambung,” papar Hasbullah.

Artinya, jika ada teknologi atau mesin yang bisa membuat tikar pandan dengan lebar hingga dua meter, atau ada strategi khusus yang bisa menghasilkan panjang pandan lebih dari dua meter, tikar pandan khas Gunungteguh ini adalah peluang usaha yang potensial. Sebab, diungkapkan Hasbullah permintaan tikar pandan Gunungteguh dari baik pasar lokal ataupun interasional selalu berdatangan.

Labih lanjut Hasbullah mengatakan, dia juga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah besar, sebab di desanya hanya ada sekitar 30 ibu-ibu yang saat ini masih eksis membuat tikar pandan, sepuluh ibu-ibu itu diantaranya tinggal di Dusun Teguh dan 20 sisanya berada di Dusun Menara Desa Gunungteguh. “Untuk membuat sebuah tikar saja membutuhkan waktu berminggu-minggu,” jelas Hasbullah.

Jadi, karena tidak digarap dengan teknologi yang memadai, tikar pandan Gunungteguh saat ini susah pemasarannya. “Seandainya kami bisa memnuhi permintaan investor dari mancanegara itu, tentu kerajinan tikar pandan saat ini desa kami bukan sekedar kerja sambilan, tapi menjadi pekerjaan utama,” tuturnya.

Kendati hanya digarap dengan sistem tradisional, permintaan untuk pasar lokal masih ada, seringkali wisatawan domestik dari luar Bawean selalu membeli tikar pandan Gunungteguh untuk dibawa ke daerahnya. “Selain itu, banyak juga turis dari mancanegara yang berminat membeli tikar pandan untuk dibawa ke negaranya,” kata Hasbullah sambil menambahkan jika tikar-tikar ibu-ibu di desanya tidak laku dijual di pasar-pasar Bawean, dia bersedia menampung untuk diunakan sebagai stok permintaan dari pengunjung yang datang ke Pulau Putri (julukan Pulau Bawean) ini.

“Saya beli tikar ibu-ibu yang tidak laku di pasar, tentunya dengan harga standar, kemudian saya jual kepada wisatawan yang datang ke Bawean. Harga yang kami tawarkan berkisar antara Rp 40 ribu hinga Rp 50 ribu, tergantung lebar dan model anyaman, kami tidak mengambil untung besar, karena tujuan kami sekaligus promosi,” imbuhnya. Terkait harga, Hasbullah membenarkan jika harganya yang ditawarkan terlalu mahal jika dibandingkan dengan alas berbahan plastik. “Tapi, tikar pandan Gunungteguh sangat nyaman apabila digunakan, dan bisa berahan lebih dari sepuluh tahun,” tandasnya.

Dipaparkan Hasbullah, ada 15 motif atau corak anyaman tikar pandan Gunungteguh, antara lain to’an, palikat, daniris, gambir, peti susun atau tehel, seksek bange, beras tumpah, mata itik, mata lembu, bulu ayam, okel-okel, kalara sasebek, polosan, songket, dan mata-mata. “Saat ini anyaman pandan itu, tidak hanya kami buat untuk tikar, tapi juga untuk sajadah, tas, dompet, taplak meja, vas bunga, kaligrafi, topi, dan beberapa jenis lainnya,” kata Hasbullah.

Sebenarnya proses pembuatannya tidak terlalu susah, namun dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran ekstra. Mula-mula diambil pandan yang biasanya ditanam di kebun, tapi pandan yang digunakan bukanlah pandan yang berbau wangi dan biasa digunakan untuk memasak, tapi pandan liar dengan daun yang panjangnya sekitar 1,5 meter lebih dan berduri.

Kemudian daun pandan diiris kecil-kecil sesuai dengan lebar yang dibutuhkan, biasanya 0,5 centimeter. Sesudah diiris kemudian direbus hingga beberapa jam, selanjutnya dijemur di terik matahari hingga daun pandan itu berwarna putih, biasanya selama tiga hari. Tapi, ketika belum sepenuhnya kering, pandan diambil dan kembali direbus dengan dicampuri

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com