Sedikit orang mengetahui jika Basuni di Desa Tumapel, Gresik adalah pengrajin rumah joglo yang karyanya sudah merambah pasar internasional. Satu rumah joglo garapannya dihargai hingga miliaran rupiah.
OLEH ASEPTA YP
Basuni membaca tren atau gaya hidup orang modern dekade terakhir ini sudah bosan dengan citra luxury, para jutawan atau miliader sekarang lebih banyak berburu barang-barang bernuansa tradisional atau kuno. Tidak jarang juga, memadukan pola-pola minimalis dengan gaya tradisional, seperti menambahkan aksesoris ukiran sebagai hiasan dinding dan juga memasang gebyok untuk sket ruangan.
Basuni mengawali karirnya di dunia pahat ini melalui jual-beli barang antik sekitar tahun 1997. Pria yang memahami filosofi ini mempercayai jika di dalam setiap karya, kuhusunya ukiran memilki jiwa, karena itu dia kemudian memilih tidak hanya enjualnya, tapi juga memproduksinya. “Setiap karya ada jiwanya, saya bersalah jika hanya saya ambil hasilnya dari penjualan, jiwa masa lalunya akan hilang,” ungkapnya.
Ketika ada permintaan dari pelanggannya, Basuni mulai memberanikan diri. Enam tahun lalu, Basuni mencoba membuat rumah joglo milik Bambang Adji, Direktur PT Trans Pacific Petrocemichal Indotama (TPPI) di Jakarta. Pelanggan pertamanya inilah yang juga merupakan guru dan pendorong Basuni untuk terus menekuni dan berani menggarap rumah joglo. “Oleh beliau saya diberi banyak referensi seperti buku-buku tentang ukiran,” ujarnya.
Saat ini, sekitar 20 rumah joglo yang telah dia pasang atau bangun sendiri, dan hampir ratusan jumlahnya yang sudah dia produksi dan jualnya. Saat ini, dia menggarap rumah joglo di Tuban milik saudara dari Bupati Tuban Haeny relawati, senilai Rp 2,5 miliar. “Harganya bervariasi mas, tergantung dari permintaan. Mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah,” kata Basuni.
Pemesannya pun dari berbagai daerah, seperti lokal Jawa Timur, Jogjakarta, Jakarta, dan Bali. Pastinya, mereka dari kalangan berduit, menengah ke atas. Tapi, seringkali juga dia diminta oleh pelanggannya untuk memadukan gaya rumah minimalis dengan tradisional, dan model ini yang saat ini lagi tren dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
“Biasanya, pintu dan kusainnya ukiran semua. Sket ruangannya juga kadang menggunakan gebyok, dan dilengkapi juga beberapa hiasan dari ukiran. Orang sekarang bosang dengangaya-gaya modern. Setelah tau hasilnya, mereka biasanya menambah pesanan,” ujarnya sambil tertawa.
Diungkapkannya, terkadang ada juga pesanan dari mancanegara seperti Perancis dan Amerika Serikat. “Peminat ukiran dari mancanegara sangat ramai di akhir tahun 90-an, tapi setelah ada kejadian bom bali pertama tahun 2002, sangat jarang pemesan dari luar negeri,” keluh Basuni.
Ditambahkannya, sekarang ada satu dua orang asing yang memesan rumah joglo kepada dia, tapi mereka adalah orang-orang yang sudah menetap di Bali, tidak dibawa ke negara asalnya.
Terkait, bahan produksinya, Basuni lebih memanfaatkan kayu-kayu bekas, seperti bekas lesung yang jaman dulu digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras. “Kayu-kayu lama ini sudah teruji, sangat kuat, tidak mulet atau melengkung, dan juga tidak gampang dimakan rayap. Untuk kayu-kayu yang baru, banyak yang tidak bagus, kecuali kayu jati dari Cepu, Bojonegoro. Hampir semua bahan produksi kami dari Bojonegoro,” jelas Basuni yang rumah produksinya di Desa Tumapel Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik.
Sementara itu, untuk mempertahankan agar karyanya diburu oleh orang, dia mengaku mempertahakan karakter Jawa Timur pada setiap karyanya. Berbeda dengan pengrajin yang ada di Pasuruan, semuanya terbawa gaya Jepara.
Basuni mengungkapkan, jika ukiran di Jawa Timur sendiri juga terbagi beberapa gaya. Untuk wilayah pantai utara (pantura), mulai Gresik, Lamongan, hingga Tuban terpengaruh oleh gaya kesunanan dan cina. Untuk ukiran gaya Sunan Giri, tidak lepas dali lafal-lafal Al-Quran, tapi bukan bacaan yang panjang, dilengkapi dengan ornamen bundar-budar seperti tasbih.
Sedangkan untuk wilayah Selatan seperti Jobang, Nganjuk, Madiun, Mojokerto, Kediri dan beberapa daerah lainnay terpengaruh gaya kerajaan. Untuk wilayah Madura, full gaya cina, karena itu tidak di ukiran Madura tidak akan lepas warna emas yang menurut filosofi cina adalah warna hoki.
“Dengan mempertahankan gaya Jawa Timur, berbeda dengan orang, kita akan lebih banyak dicari. Tapi kami juga mampu menggarap ukiran gaya-gaya lain seperti Jepara atau Bali. Terkadang juga pemesan meminta perpaduan, apalagi jika pemesannya orang-orang cina,” ujarnya.
Dia memaklumi jika para pengrajin di Jawa Timur selama ini menganut aliran Jepara, karena memang mereka tidak mempunyai katalog-katalog ukiran gaya Jawa Timur. Berbeda dengan Basuni yang mengawali karirnya dari jual belibarang antik.
“Ketika saya membeli barang dari berbagai daerah, saya pelajari setiap karakter ukirannya, baru kemudian saya bikin katalog. Saya mencari referensi dari lapangan langsung, selain dari membaca buku-buku dari Pak Bambang Adji. Pengraji-pengrajin Jawa Timur umumnya tidak paham betul dengan karakter Jawa Timur, banyak di sini orang pintar memahat, tapi belum tentu dia faham dengan karakter di masing-masing daerah,” jelasnya.
Basuni yang belajar ukiran secara otodidak mengungkapkan beberapa jurus dia dulu untuk mengetahui ukiran-ukiran yang bagus. “Misalnya saya beli gebyok 10 juta, terus ada orang menawar, saya bilang jika barang itu sudah laku dengan harga Rp 15 juta, jika orang tersebut tiba-tiba menawar Rp 20 juta, berarti barang itu bagus, dari sini saya pelajari karakter ukirannya,” ungkapnya pria yang mengaku tidak bisa memahat ini.
Contoh lainnya, ketika dia menawar gebyok seharga Rp 125 juta, oleh pemilihnya tidak diberikan. Barang tersebut kemudian dia gambar dan pelajari, selanjutnya dia mencoba untuk memproduksinya. “Begitulah awalnya saya mempelajari sebuah ukiran bagus atau tidak,” tandasnya.
Terkait harga, Basuni sedikit kaku, dia mematok harga pas dan tidak bisa ditawar-tawar. Harga yang dipatoknya bervariasi, tergantung ukuran dan model ukiran yang diminta, semakin rumit semakin mahal. Untuk gebyok bisa mulai jutaan hingga ratusan juta rupiah. Untuk rumah joglo, dia memasang harga mulai dari ratusan juta hingga miliaran, tergantung pesanan.
“Untuk rumah joglo, biasanya saya minta didampingi oleh arsitek pemesan, saya hanya menyarankan atau menambahkan lebih bagusnya nanti bagaimana, saya belum berani mendesain total,” ujar pria yang sekarang memiliki enam pegawai tersebut.*
0 comments:
Posting Komentar