Menandai 50 tahun persahabatan Indonesia-Jepang, The Japan Foundation Jakarta memperkenalkan seni pertunjukan Kabuki. Seni pertunjukan yang sudah berusia 400 tahun lebih ini mendapat perhatian ratusan penonton yang memadati gedung Cak Durasim Taman Budaya Jatim (TBJ).
Oleh Rakhmat Giryadi dan Asepta Yoga Permana
Seni pertunjukan yang ada sejak tahun 1600 ini dimulai dengan penampilan tarian tradisional berjudul ‘Sanbansou’. Sanbansou ditampilkan pada waktu pembukaan pentas terbuka kesenian kuno seperti Kabuki dan Buyou (tarian tradiusional Jepang). Tarian ini merupakan pokok ketrampilan dan kesenian rakyat yang sudah terbentuk sebelum kabuki maupun noh ada. Tarian ini sebagai ujud syukur yang mendoakan agar tanaman tumbuhan subur dan panen melimpah, merayakan perdamian dunia dan lain-lain.
Setelah tari Sanbansou yang dibawakan Bando Kotoji kemudian dilanjutkan dengan peragaan rias dan berbusana ala kabuki oleh Nishiki Emino. Kawamoto Ryuyo dan Nishizaki Sakuro menjadi instrukturnya. Dengan cekatan, Nishiki Emino mempraktikan merias karakter tokoh kabuki yang akan diperankan.
Dimulai dengan memberikan cat putih secara merata di wajahnya, Nishiki kemudian membubuhkan cat merah maron pada bagian pelupuk matanya hingga kening. Dasar putih, kata Ryuyo, merupakan warna dewa. Warna ini dalam kabuki biasa dikenakan oleh tokoh dewa.
Setelah itu, Nishizaki membubuhkan warna merah di alisnya. Di atas warna merah itu kemudian ditoreh warna hitam. Disudut matanya juga diberi tambahan warna merah. Kata Ryuyo, warna merah yang diletakan di sudut mata diyakini untuk menolak masuknya setan. “Kami percaya setan bisa masuk lewat lubang-lubang tubuh,” kata Ryuyo.
Setelah selesai membubuhkan warna merah di sudut mata, Nishizaki memoles bibirnya dengan cat warna merah. Bibirnya dibuat lebih mungil sehingga kelihatan lebih seksi. Selesai merias wajah, barulah Nishizaki mengenakan pakaian yang mengambarkan putri kerajaan.
Usai praktik rias, Kawamoto Ryuyo dan Nishizaki Sakuro memberikan instruktur 10 gerakan dasar tari tradisonal (Nihon Buyo) Jepang. Ratusan penonton yang terdiri dari mahasiswa sastra Jepang dan para peminat budaya Jepang, mengikuti gerakan tari itu. Hasilnya, “Saya sangat kagum dengan kepandaian Anda,” kata Ryuyo yang belajar kabuki sejak usia tiga tahun.
Usai peragaan itu barulah masuk pada cerita yang kedua berjudul ‘Yoshinoyama.’ Ditarikan oleh Bandio Kotoji (yang berperan sebagai Tadanobu) dan Nashizaki Emino (yang berperan sebagai Shizuka Gozen). Sementara yang menjadi asisten (Koken) Kawamoto Ryuyo dan Nishizaki Sakurako.
Tarian yang dibawakan cukup ekspresif itu menggambarkan, Shisuka Gozen dan kekasihnya Minamotono Yoshitsune, yang hidup pada abad 12, punya pengawal bernama Tadanobu. Tadanobu, memang berujud manusia tetapi sebenarnya dia bukan manusia. Dia adalah jelmaan seekor rubah. Rubah itu sengaja menjadi pengawal Gozen agar tetap hidup berdampingan dengan orang tuanya yang juga rubah dan telah menjelma menjadi tambur kecil milik Gozen.
Tadanobu tanpa menyadari polah tinggkahnya mirip rubah saat Gozen memukul tambur. Dan saat itu munculah benih cinta. Disaat seperti itu kekasih Gozen gugur dalam pertempuran, maka semakin bersemilah cinta mereka.
Adegan itu dilakukan dengan gerak-gerak tari yang penuh energi. Pemain mengandalkan ekspresi wajahnya. Perubahan sedih, gembira, sangat menonjol. Sementara jalan cerita di sampaikan dalam bentuk nyaian oleh dalang yang diiringi denga kodo (tambur) dan samisen (kecapai).
Menariknya, dalam pertunjukan itu, pergantian property dan kostum dibantu oleh seseorang asisten (Koken) yang bebas keluar masuk panggung. Koken ini berkostum hitam-hitam. Ia tahu kapan saat masuk panggung (on stage), untuk mengganti atau menambah property pemain atau bahkan mengganti kostum pemain. Masing-masing pemain memiliki satu Koken.
Namun, dalam pertunjukan tadi malam, pemeran perempuan tetaplah diperankan oleh perempuan. Masa awal Kabuki, peran perempuan dimainkan oleh laki-laki disebut Onnagata. Meski laki-laki lemah gemulainya sama dengan pemain perempuan disitulah daya tarik pertunjukan ini.
Namun seperti yang diterangkan staf National Theatre of Japan, Takahashi Yoshiko, pertunjukan kabuki mengalami pasang surut. Kabuki Buyou telah berkembang beraneka ragam sejak pertengahan jaman Edo (tahun 1780-an). Perkembangannya tidak hanya didukung oleh para pemerannya tetapi didukung juga oleh para pakar tarian tradisonal yang disebut Furitsukeshi. Furitsukeshi tidak hanya menari tetapi juga penata tari tradisional kabuki (orang yang merancang jenis gerakan tari, urutannya juga pementasannya).
Dalam perkembangannya munculah Onna-Kabuki dan Wakashu-Kabuki. Tapi, kemudian Keshogunan Tokugawa melarang pertunjukkan kabuki yang dimainkan oleh wanita dan laki-laki daun muda tersebut.
Kesogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur (Onna-Kabuki ) sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur tersebut dilarang tampil. Sedangkan, pertunjukan kabuki laki-laki daun muda (Wakashu-Kabuki) juga dilarang pada tahun 1652 karena dianggap sebagai bentuk pelacuran terselubung.
Sebagai wujud reaksi atas dilarangnya Onna-Kabuki dan Wakashu-Kabuki, muncullah Yaro Kabuki yang seluruhnya dibawakan oleh pria dewasa. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa ini juga memainkan peran sebagai wanita sehingga melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika pertunjukan. Kesenian Yaro Kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.
“Kabuki Buyo merupakan cuplikan dari kabuki, tapi sudah berdiri sendiri. Secara keseluruhan, tambahnya, kabuki tidak boleh dimainkan oleh wanita. Tapi, untuk Kabuki Buyo, wanita boleh membawakannya,” kata Takahashi Yoshiko yang mengikuti kabuki sejak duduk dibangku taman kanak-kanak.
Untuk merawat kesenian langka ini, menurut Takahashi Yoshiko, Teater Nasional Jepang yang dibuka tahun 1966 memusatkan aktifitasnya tiga tujuan yaitu, mementaskan seni tradisional Jepang, mengumpulkan data-data seni tradisional Jepang dan melahirkan generasi penerus seni tradisional Jepang. “Kami ini bagian dari generasi penerus kesenian yang langka dan indah ini,” katanya.
Diterbitkan di Surabaya Post (Kamis, 4 Desember 2008)
0 comments:
Posting Komentar