POTENSI ANDALAN BAWEAN (3)
Tulungagung terkenal dengan kerajinan batu onyx (sejenis marmer), tapi sedikit yang tahu jika hampir semua bahan bakunya berasal dari Bawean. Kualitas batu onyx asli Bawean terbaik, warnanya putih dan sifatnya mirip kaca, bisa tembus cahaya. Banyak investor yang melirik, termasuk dari mancanegara. Tapi karena keterbatasan skill, kebanyakan warga setempat hanya bisa mengolah menjadi bahan baku setengah jadi.
OLEH ASEPTA YP
Beberapa pengolah batu onyx berada di Bawean, dua diantaranya di Desa Patar Selamat milik H Abdurrahman dan di Desa Sungai Teluk milik Arifin, keduanya berada di Kecamatan Sangkapura. M Nur Ikhsan mewakili H Abdurrahman menjelaskan, banyak investor mancanegara yang mengajak join atau kerjasama dengan pihaknya karena tertarik dengan batu onyx Bawean.
Salah satunya, investor asal negara Taiwan. “Kami mulai join dengan investor asal Taiwan itu tahun 2005 lalu, dan berjalan selama setahun. Kami mengirim batu onyx setengah jadi ke negara Taiwan, tapi ketika tahun 2006, ternyata kami mengetahui harga jual investor asing itu jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan harga beli mereka ke kami, untung mereka sangat banyak, karena batu kita dihargai terlalu murah, makanya kami meminta kerjasama itu dihentikan,” kata Ikhsan.
Menariknya, pria 31 tahun itu menambahkan, investor dari Taiwan itu langsung mengacungkan jempol ketika melihat batu onyx jenis bintang putih. “Ini baru batu yang bagus,” kata Ikhsan menirukan tanggapan investor asing itu saat pertama kali melihat contoh bintang putih. Jika dibandingkan dengan batu onyx di daerah lain, batu onyx bawean terbaik, tegas Iksan kembali.
Lebih lanjut dia menjelaskan, ada tiga tambang batu onyx di Bawean, yaitu di Desa Sungai Teluk dan Desa Sawahmulya Kec. Sangkapura, serta di Desa Kepuh Legundi Kec. Tambak. Batu onyx di Sungai Teluk dan Sawahmulya sering dikenal dengan nama batu bintang sedangkan di Kepuh Legundi disebut dengan nama bintang putih. Batu onyx bintang putih inilah yang dianggap kualitasnya terbaik, lebih bening, mengkilap dan warnanya putih, berbeda dengan di daerah lain yang agak kecoklatan dan kusam.
Sedangkan jenis kedua, yaitu batu bintang yang lebih tepatnya berada di Dusun Rujing itu memiliki corak dengan garis-garis atau urat berwarna kecoklatan, meskipun tidak seindah bintang putih, batu bintang masih lebih indah bila dibandingkan dengan batu onyx di daerah lain. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama bening bisa tembus cahaya mirip seperti sifat kaca, inilah yang menjadi kekhasan batu onyx asli Bawean.
Tapi jika dibandingkan harganya, bintang putih lebih mahal daripada bintang batu. Untuk harga kap lampu ukuran standar, kap yang berbahan baku batu bintang harganya hanya Rp 85 ribu, apabila menggunakan bahan baku batu onyx bintang putih harganya mencapai Rp 125 ribu. “Untuk satu model barang saja selusuhnya hingga Rp 45 ribu,” tandasnya.
Selain investor asal Taiwan, jelas Ikhsan, beberapa waktu lalu ada investor mancanegara lain yang juga tertarik dengan batu onyx Bawean, mereka investor dari Australia, saat ini investror itu juga memiliki usaha barang unik di Jogja. Berbeda dengan investor asal Taiwan yang tertarik dengan batu onyx bintang putih, investor asal negeri kanguru ini justru tertarik dengan batu bintang yang berwarna kecoklatan itu.
“Menurut investor itu, batu bintang ini tampak lebih alami dibandingkan dengan bintang putih. Saat itu mereka mengambil sempel batu bintang kecil-kecil yang sudah menjadi hasil kerajinan, saat ini kami masih menunggu kabar dari mereka bagaimana kelanjutannya,” jelasnya.
Dijelaskan Ikhsan, selain mengolah batu onyx menjadi bahan baku setengah jadi, usaha yang dimiliki mertuanya itu juga mengolah menjadi barang jadi, tapi berupa kerajinan sederhana seperti meja, kursi, kap lampu, keramik untuk tembok dan lantai, asbak, dan kerajinan lain yang tidak rumit.
“Di sini, model atau bentuk jadi kerajinan yang kami olah terbatas, karena alat dan kemampuan pengrajin yang ada di sini masih juga terbatas. Untuk memngolah menjadi kerajinan itupun pengrajinnya kami masih mendatangkan langsung dari Tulungagung, semuanya berjumlah empat orang,” imbuh Ikhsan.
Orang Bawean sendiri, menurutnya, masih belum ada yang mumpuni untuk mengolah batu onyx menjadi kerajinan karena mereka enggan belajar lantaran gengsi, mereka lebih memilih menjadi tenaga kerja Indonsia (TKI) di Malaysia atau Singapura daripada menjadi pengrajin batu onyx.
“Ketika ada pesanan yang terbilang susah, seperti patung kuda, naga, kumpulan ikan, ayam atau lainnya, kami tidak mampu. Tapi untuk menyiasatinya, kami mendatangkan hasil jadinya dari Tulungagung. Sebenarnya lucu, barang asli Bawean, kemudian dikirim ke Tulungagung, tapi kemudian dibawa kembali ke Bawean, itu lantaran skill dan alat kami terbatas,” jelas Ikhsan.
Hasil kerajinan itu, biasanya dibeli oleh orang-orang Bawean sendiri, dan banyak juga dibeli oleh orang-orang Malaysia, Singapura, atau turis asing lainnya saat berkunjung ke Pulai Putri ini. ”Saat musim liburan pesanan meningkat, tapi untuk saat-saat seperti ini pesanan masih sepi. Dikatakan Ikhsan, dia memproduksi barang atas dasar pesanan belaka.
“Saat ini, kami enggan mengirim atau memasarkan kerajinan kami di luar Bawean, karena barang kami pasti kalah model dengan hasil kerajinan batu onix yang berasal dari Tulungagung, lagi-lagi itu karena keterbatasan kami, alatnya saja harganya ratusan juta, belum lagi para pengrajinnya, di Bawean tidak ada. Tapi, sebelumnya kami juga sempat mengirim barang jadi atas pesanan dari Jakarta dan Batam,” papar Ikhsan.
Jika Bawean memiliki banyak pengrajin batu onyx seperti di Tulungagung, katanya, tentu dia tidak akan hanya mengirim barang setengah jadi. “Di Tulungagung, sebelum ada suplai bahan baku dari Bawean, kondisi perekonomian tiap-tiap pengrajin rata-rata kelas menengah ke bawah, tapi coba lihat sekarang, rumah mereka mentereng-mentereng. Apalagi Bawean, jika memiliki pengrajian ahli yang banyak, sebab Bawean memiliki sumber bahan baku yang melimpah,” tandasnya.
Apalagi batu onyx bawean adalah yang terbaik, imbuh Ikhsan, kijing makam mantan presiden RI kedua Suharto dan istrinya saja, kabarnya bahan bakunya berasal dari Bawean.
Berbicara masalah keuntungan, Ikhsan membeberkan ketika pesanan lancar, per bulan dia bisa meraup netto Rp 16 juta hingga Rp 18 juta dari penjualan bahan baku setengah jadi saja. Padahal, selain hanya mengolah bahan baku setengah jadi dan menghasilkan kerajinan, terkadang dia juga mendapatkan order pemasangan dinding atau lantai batu onyx.
Misalnya rumah milik H Jufri di Batam dan H Sujai di Tanjungpinang, untuk pemasangan satu rumah beserta tenaga ahli pemasangnya, biayanya mencapai ratusan juta rupiah. Untuk rumah kedua haji tersebut biayanya sekitar Rp 150 jutaan, dana ini sekaligus biaya tenaga ahli pemasangnya, karena pemasangannya susah, harus ditangani oleh yang ahlinya.
Sementara itu, Arifin, pegusaha batu onyx lainnya di Bawean mengaku juga lebih memilih hanya mengirim bahan baku setengah jadi ke Tulungagung. Menurut Aifin di tempat usahanya yang hanya berjarak 200 meter dari tambang batu onyx di Dusun Rujing menjelaskan, jika mengirim dalam bentuk kerajinan jadi, resikonya lebih besar. Sebab, menurut Arifin transportasi melalui laut saat ini belum memadai kapalnya, sehingga rawan pecah atau rusak saat dikirim ke luar Bawean.
Selain itu, senada dengan Ikhsan, untuk menproduksi batu onyx menjadi kerajinan jadi Arifin mengaku susah mencari tenaga ahli. Untuk memotong batu onyx dari bongkahan menjadi barang setengah jadi saja tahun 2003 lalu dia mendatangkan tenaga dari Tulungagung. Bahkan, saat ini kuli tambang batu onyxnya, Arifin masih memanggil tenaga dari Tulungagung.
“Tapi, mulai tahun 2004 lalu tenaga pemotong batu onyx menjadi bahan setengah jadi sudah ada dari Bawean, mereka belajar dari orang Tulungagung yang dulu saya panggil itu, saat ini tenaga pemotong asli Bawean ada tujuh orang, sedangkan kuli tambangnya ada sembilan orang, semuanya dari Tulungagung,” katanya.
Arifin menilai, usaha batu onyx ini sangat menjanjikan, terlebih kualitas batu onyx di Bawean ini terbaik, limbah sisa pemotongan saat pengolahan menjadi bahan baku setengah jadi pun menjadi rebutan pembeli, bisa digunakan untuk lantai atau dinding. Usaha yang dia lakoni sejak tahun 2003 itu adalah bisnis turun-menurun dari orangtuanya. “Karena sangat menjanjikan saya meu melanjutkan bisnis dari orang tua ini,” katanya.
Sedangkan, terkait perhatian pemerintah, kedua pemilik usaha batu onyx di Bawean itu, baik Ikhsan maupun Arifin menyayangkan sikap pemerintah yang acuh terhadap potensi unggulan Bawean ini. Misalnya, kebutuhan listrik. Jika listrik di Bawean tidak lagi giliran, artinya bisa menyala 24 jam nonstop mereka pasti beralih menggunakan tenaga listrik bukan dari tenaga desel untuk mengolah batu onyx menjadi bahan baku setengah jadi.
“Setiap dua setengah hari, desel pemotong saya menghabiskan bahan bakar satu drum yang berisi 100 liter solar, sedangkan harga solar yang saya dapatkan Rp 5.000 per liter. Coba bayangkan berapa biaya untuk solar yang harus saya keluarkan dalam sebulan. Jika listrik disini sudah menyala 24 jam penuh, saya pasti beralih menggunakan tenaga listrik, karena bisa menghemat Rp 5 jutaan per bulannya untuk bahan bakar itu,” jelas Arifin.
0 comments:
Posting Komentar