Desa Bungah Kec. Bungah Kab. Gresik, terkenal dengan pengrajin rebananya. Tak hanya untuk pasar lokal, rebana asal Bungah ini juga diminati pecinta rebana dari macanegara, seperti Malaysia , Brunei Darussalam, Singapura, dan Saudi Arabia.
OLEH ASEPTA YP
Setiap pagi, Muhammad Anwar (45) terpaksa harus berkeringat. Di lantai hanya seluas dua kali dua meter itu, dia harus menggosok kulit kambing dengan pisau tumpul. Pekerjaannya memang pelik, untuk membersihkan dari selembar kulit kambing saja membutuhkan waktu berjam-jam.
"Memang lama dan harus berkali-kali digosok, kulit ini hanya direndam dengan air kapur saja, makanya sisa daging dan bulu-bulunya susah dipisahkan dari kulit. Tapi inilah kunci kualitas rebana asal Bungah," kata Anwar seraya mengusap peluh di pelipisnya.
Jika dibandingkan dengan daerah lain, pengrajin rebana asal Bungah memang harus bekerja lebih sabar. Bayangkan, untuk membuat satu buah rebana saja membutuhkan waktu selama tiga hari. Mulai dari tahap pengolahan kulit hingga proses finishing.
"Setelah dibersihkan, kulit kambing ini bagian tepinya dipaku pada sebuah papan dan kemudian dijemur.
Mulai dari dulu, cara ini yang kami pilih meskipun susah, karena proses inilah yang menjadi kunci kualitas rebana asah Bungah," kata Anwar menegaskan kembali.
Melalui cara ini, suaranya yang akan dihasilkan alat khas Timur Tengah itu akan lebih keras, dan kualitas kulitnya pun lebih awet. Kulit yang hanya direndam air kapur selama sehari, memang diakui para pengrajin leih susah dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia seperti kalsium.
Jika menggunakan kalsium, daging dan bulu-bulunya lebih mudah dibersihkan, jadi prosesnya memang lebih enteng, dan hasilnya pun lebih putih. Namun, kualitas suaranya tidak begitu bagus, sebab pembuatnya tidak berani memasang kulit pada framenya terlampau kencang. "Jika kulit direndam dengan kalsium, hasilnya muda rusak, kulitnya tidak berani dipasangan terlalu kencang, takut robek," jelas Anwar.
Selain itu, lanjut Anwar, kunci kualitas suara rebana ada pada pemilihan kulit kambing. Jenis kambingnya harus kambing gunung, atau wedus kacang istilah Jawanya. Jenis kelamin kambingnya pun demikian, hanya dipilih kulit dari kambing betina.
Menurut Anwar, untuk kulit domba dan kambing jantan, memang tetap bisa dipakai untuk bahan rebana. Tapi, kualitasnya tidak sebagus kulit kambing gunung yang betina. Kambing gunung betina, kulitnya lebih kuat, sehingga tidak mudah robek ketika dipasang kencang pada frame.
Untuk pemasangannya, salah satu pengrajin lainnya, Muhhamad Nasihan (34) mengatakan, semua pengrajin rebana asal Desa Bungah masih menggunakan alat tradisional, tidak menggunakan mesin. Frame kayu berbentuk bulat yang sebelumnya telah diplitur, diberi lem kayu pada sisi yang hendak dipasangi kulit. Kemudian diletakkan pada sebuah papan bundar, yang tepi-tepinya telah dilubangi dan dipasang baut serta mur berjumlah 12 buah.
Kulit yang sebelumnya dijemur dipasang pada besi lingkaran atau dikenal dengan Blengker. kemudian diletakkan di atas frame. Dan blengker ini dicantoli ke-12 baut yang ujungnya telah dibengkokkan seperti huruf L.
Selanjutnya, baut-baut tersebut dikencangi dari bawah papan sehingga blengker tertarik dan kulit menjadi kencang. Proses ini umumnya disebut dengan urung. "Proses urung ini menjadi kunci utama suara rebana bakal keras atau tidak. Jika kulitnya kuat, kulit bisa ditarik lebih kencang, dan suara yang dihasilkan lebih keras," kata Nasihan.
Sementara itu, kayu yang digunakan untuk frame rebana, hampir sama dengan daerah lain. Untuk rebana jenis Hadrah biasanya menggunakan kayu Mimba, sedangkan untuk jenis Al-Banjari dan Samrah menggunakan kayu mangga, nangka, mahoni, dan jati.
Dikatakan Nasihan, di hari-hari biasa setiap home industry penghasil rebana di Bungah, rata-rata perbulannya mendapatkan pesanan 120 rebana jenis Hadrah dan 300 rebana jenis Al-Banjari dan Samrah. "Jika dirupiahkan, omzetnya sekitar Rp 10 juta per bulan," jelasnya.
Tapi, jumlah pesanan menjadi sangat fantastis ketika menjelang bulan Ramadan, mereka rata-rata mendapatkan pesanan hingga 1.500 rebana jenis Al-Banjari dan Samrah, pesanan in banyak datang dari luar negeri, apabila dirupiahkan omzetnya mencapai Rp 40 juta.
Lebih lanjut dia menjelaskan, peminat rebana jenis Hadrah umumnya dari Jawa Timur saja, seperti Pasuruan, Jember, Probolinggo, Lumajang, Madura, Sidoarjo, Malang, dan Gresik sendiri.
Sedangkan, peminat rebana jenis Al-Banjari dan Samrah inilah yang cukup besar omzetnya karena tidak hanya ada di Pulau Jawa, tapi juga dari luar Jawa dan mancanegara. Untuk luar Jawa peminat rebana Al-Banjari dan Samrah berasal dari Lombok, Kalimantan , dan NTT. Sedangkan peminat mancanegara dari Malaysia , Brunei Darussalam, Singapura, dan Saudi Arabia. "Jika mendapat pesanan dari Brunai atau Malaysia, jumlahnya cukup banyak bisa ribuan buah," katanya.
Tiap-tiap rebana dibandrol dengan harga bervariasi, untuk jenis Hadrah Rp 150 ribu per buah, Al-Banjari mulai Rp 120 ribu hingga Rp 225 ribu, sedangkan jenis Samrah harganya Rp 70 ribu, sementara jumlah penghasil rebana di Desa Bungah sekitar tujuh home indutri.
0 comments:
Posting Komentar