Apakah kita betul sudah merdeka?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang cucu (Agus) kepada kakek yang dulunya pejuang kemerdekan RI. Kakek berusia seratus tahun tersebut terkejut dengan pertanyaan itu, karena selama ini dia merasa kuat dan bangga atas apa yang pernah dicapai, “Kemerdekaan RI.”
“Jika kita sudah merdeka, kenapa kita masih miskin dan hanya punya gubuk? Kenapa kita tidak selalu boleh melakukan apa yang kita pikirkan?” jelas sang Cucu. “Agus ingin kaya, ingin punya mobil, itulah kemerdekaan,” tambahnya.
“Kita tidak merdeka,” teriak Agus. Dengan luwes sang Kakek menjelaskan, “Itulah kemerdekaan, pengakuan kita belum merdeka itulah kemerdekaan.” Sebagai ilustrasi kemudian sang Kakek menceritakan kisah perkutut dan tuannya.
Juragan perkutut yang sudah tua ingin memberikan hadiah kepada salah satu perliharaanya. “Selama bertahun-tahun kau telah menghiburku, suaramu memberikan keindahan di dunia yang busuk ini,” kata sang Tuan. Sekarang bebaslah, tambahnya, terbanglah ke langit yang biru, itulah hadiahku untukmu.
Ironisnya, sang Perkutut tidak terbang bebas, justru ketakutan. “Jangan merdekakan aku sekarang, saya takut,” mohon Perkutut. “Setiap hari tuan memberi makan dan minum saya, sekarang saya tak tahu lagi bagaimana cara mencari makan dan minum,” tambahnya. “Lebih baik saya hidup dalam sangkar daripada saya mati ditembak pemburu dan dimangsa kucing.”
Dengan sekuat tenaga sang Tuan memaksa Perkutut untuk terbang bebas, sampai-sampai dia harus menghancurkan sangkar Perkutut. Tidak seperti harapan sang Tuan, Perkutut terbang dan menabrakkan diri ke sangkar hingga mati.
Kemudian sang Tuan menjelaskan makna kebebasan kepada 250 juta perkutu lainnya, dan memberikan kebebasan. 250 juta ditambah satu Perkutut yang ternyata pura-pura mati tersebut akhirnya terbang bebas ke langit. Sesampainya di atas, Perkutut-perkutut yang bebas menjatuhkan kotorannya bersama dan mengenai tubuh sang Tuan.
Bagi mereka yang tidak mengerti maknanya, kemerdekaan adalah malapetaka. Kemerdekaan bukanlah hadiah yang diberikan kepada individu, melainkan capaian bersama. Jika satu bebas ngomong, lainnya juga harus bebas. Itulah makna yang ingin disampaikan Putu Wijaya melalui monolognya di Gedung Serba Guna (GSG) Kampus B Universitas Airlangga Rabu (19/11) malam.
Dalam berakting, Putu Wijaya bisa diacungi jempol. “Di usianya yang cukup tua (64), dia mampu memainkan peran dengan energik,” kata penulis novel Tanah Api, S Jai. Saya terakhir melihatnya berperan 10 tahun yang lalu, tambahnya, sekarang tidak banyak perubahan, tetap energik.
“Beberapa kesalahan mampu ditutupi dengan guyonan,” jelas Pembantu Dekan I FIB Unair, Ida Bagus Putera Manuaba. Guyonan itu sebenarnya tidak masuk akting, tambanya, tapi Putu Wijaya sanggup memasukkannya seolah-olah itu bagian dari akting. “Dia cukup responsif menghadapi kesalahan atau gangguan yang muncul.”
Dalam pentasnya, sempat terjadi beberapa kecelakaan, Putu Wijaya terjatuh dari panggung saat menirukan Perkutut menabrak sangkarnya, kepalanya terbentur sangkar yang menggelantung di atas panggung. Dia sanggup memasukkan insiden tersebut menjadi bagian dari aktingnya.
“Putu Wijaya juga sanggup menguasai audience dengan baik,” tutur Pembantu Dekan III FIB Unair dan Dosen di Departemen Sastra Indonesia, Adi Setijowati. “Ini dapat menjadi contoh bagi para pemula,” tambahnya.
Tapi komentar miring juga muncul dari salah satu penonton. “Tema dan penyajiannya terlalu klise dan konvensional,” ungkap penulis, KY Karnanta. Tema kemerdekaan sudah sering diangkat, tambahnya, pesan itu juga disampaikan secara eksplisit, tanpa menggunakan simbol-simbol. “Jika dia ingin menyampaikan merdeka, dia teriak merdeka.”
Merespon tanggapan miring tersebut, Putu Wijaya menjelaskan, “Cerita ini sengaja disampaikan secara konvensional agar penonton tidak salah mengartikan kemerdekaan.” Tema kemerdekaan memang klise, tambahnya, tapi itu tetap harus terus kita sajikan seperti halnya upacara bendera setiap hari senin. Itu harus selalu kita lakukan agar semangat perjuangan tetap tertanam dalam jiwa kita. “Monolog ini juga diciptakan untuk memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional,” jelasnya.
Diterbitkan di Surabaya Post (Kamis, 20 November 2008)
0 comments:
Posting Komentar