Di ruangan berukuran 3 kali 4 meter, tampak tumpukan lukisan dan pigura. Beberapa di antaranya dipajang di dinding. Ruangan kecil itu adalah sanggar Komunitas Seni Arek Pakis. Apa saja yang ada di sanggar itu?
Oleh Asepta Yoga Permana
Komunitas Seni Arek Pakis merupakan kantong seni yang dimotori oleh seniman lukis Supar Pakis. Sedikitnya 40 pelukis tergabung di dalamnya. Menurut Supar, Komunitas Seni Pakis terbentuk tahun 1995. Tujuan komunitas ini untuk membangun ikatan emosional, sesama anak-anak muda Pakis yang ingin berkesenian.
Mereka yang tergabung dalam komunitas ini berasal dari latar belakang yang beragam seperti, tukang bakso, polisi, kontraktor, dan lain sebagainya. “Dari komunitas ini, diharapkan muncul gagasan-gagasan baru,” kata Supar.
Komunitas ini terbentuk berawal dari keresahan Supar ketika tidak ada ruang publik buat jujukan. Melalui komunitas ini, dia ingin menularkan ilmunya. “Dan proses transfer tersebut memerlukan sebuah wadah,” katanya.
Beragam cara yang digunakan untuk proses penularan ilmu tersebut, mulai dari pelatihan mengenai tehnik-tehnik melukis hingga melukis bersama dalam satu kanvas. Seperti saat ditemui di sanggar Komunitas Seni Arek Pakis akhir pekan lalu, Supar Pakis melukis bersama anggota-anggota lain yang bisa terbilang pemula dalam satu kanvas. Objek yang dilukis adalah pepohonan. “Di kanvas ini kami bisa saling menerima kelemahan dan kelebihan satu dan lainnya,” kata Supar.
Sanggar Komunitas Seni Arek Pakis berlokasi di belakang Gedung Juang 45, Jl. Meyjend Sungkono Surabaya. Sanggar itu dulu bekas warung milik Yusuf Damiri, berada di tengah-tengah deretan penjual makanan. Karena tidak difungsikan, Supar meminta tempat tersebut untuk dijadikan wadah berkesenian. “Dengan adanya sanggar ini, kita bisa menstransfer ilmu ke teman-teman lain,” jelasnya.
Untuk menghidupi sanggar, selain jual berli bahan lukisan seperti kanvas dan pigora, setiap Minggu pagi di sanggar tersebut diadakan pelatihan teknik melukis bagi anak-anak TK dan SD. “Awalnya kegiatan ini tidak dipungut biaya,” Jelas Supar Pakis.
Untuk profesionalitas, tambahnya, teman-teman meninta untuk memungut biaya Rp 10 ribu per anak. Dari usaha ini, tiap bulannya bisa menghasilkan omzet 500 – 750 ribu per bulan.
Sementara itu berbicara penjual karya-karya lukis, Edy Rahmat salah satu penggerak komunitas ini mengatakan, penjualan lukisan langsung diserahkan pada pelukisnya. Lelaki yang sering dipanggil Bang Jo ini menambahkan, penjualan tidak pernah dilakukan di sanggar, karena kurang etis. “Sanggar ini hanya dijadikan sebagai ruang publik saja. Jika ada kolektor yang ingin memiliki lukisan salah satu dari anggota, maka langsung kita antar saja dia ke pelukisnya langsung,” kata Bang Jo.
Kedepan, komunitas ini berusaha go international. Program ini bakal mengangkat budaya Surabaya ke wilayah internasional. Di awal tahun 2009 bakal digarap website biografi Komunitas Seni Arek Pakis. Website ini bertujuan untuk mempermudah membuka jaringan di luar negeri. Setelah jaringan terbentuk, bakal dilakukan pertukaran budaya. “Kita memfasilitasi seniman asing untuk pameran di Indonesia, kita juga minta bantuan mereka agar kita bisa pemeran di negara mereka,” jelasnya.
Diterbitkan di Surabaya Post (Rabu, 26 November 2008)
0 comments:
Posting Komentar