HEADLINE
1 2 3 4 5

Kamis, 18 Desember 2008

Pentas Tari ‘Panji Remeng’

Ketika Caleg Menyamar Jadi Panji

Seperti apa eksistensi tokoh Panji masa kini? 16 seniman Jawa Timur berkolaborasi dalam pertunjukan tari “Panji Remeng” di Gedung Cak Durasim Selasa (2/12). Pertunjukan dengan dramaturg Heri Lentho Prasetyo mencoba mengkritik situasi lewat tokoh Panji.


Oleh Asepta Yoga Permana

Ke-16 seniman yang bekerjasama dalam pagelaran tari ini antara lain, Heri Lentho, Toyib Tamsar, M Rizard Gandong, Fatah Hidayat, Nono Goang, Handoyo, Pambuko, Suwandi, Purbandari, Mega Kartika Putri, Ernawati, Supriyadi, Hariyanto, Triyono, Ujang, dan Antok.

“Panji Remeng” terinspirasi dari cerita wayang gedhog karya (alm) AM Munardi, pengamat dan kritikus tari era 80an. Cerita ini berawal dari gagalnya perjodohan antara Raden Panji Inukertopati, atau yang sering dikenal Panji Asmara Bangun dari Jenggala dengan Dyah Ayu Sekartaji dari Kadiri. 

Dalam perjalanannya, Panji Asmara Bangun menemukan wanita lain sebagai tambatan hatinya, Dewi Anggreni. Dan dewi inilah yang dipilih Panji Asmara Bangun untuk menjadi pendampingnya, akhirnya mereka pun menikah.

Ayah Panji Asmara Bangun, Raja Amiluhur pun murka karena niatnya menjodohkan putranya dengan Dewi Sekartaji gagal. Raja Amiluhur menyalahkan Bancak, karena Bancak sebagai pengasuh Panji Asmara Bangun dianggap gagal menjaga perjodohan tersebut.

Bancak pun sakit hati, kemudian dia pergi bersemedi ke Candi Jalatunda. Dalam persemediannya, Bancak ditemui Dewa. Dan oleh Dewa tersebut status sosial Bancak dinaikkan menjadi seorang kesatria, dan dia dikenal dengan nama Panji Remeng. Panji Remeng akhirnya menuntut balas dengan mengobrak-abrik kerajaan. 

Kisah Panji Remeng yang diambil dari naskah cerita wayang gedhog karya (alm) AM Munardi yang digarap bersama-sama oleh seniman Jatim ini tidak berada pada masa lampau sebagaimana epos Panji Remeng itu hidup dalam cerita Raden Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji. Pasalnya, kisah Panji Remeng yang diadaptasi ke dalam seni pertunjukan drama tari itu lebih pada mengkritisi kondisi saat ini. 

Topeng-topeng dalam drama tari yang dipanggungkan oleh seniman-seniman Jatim itu mencoba mewacanakan eksistensi Panji Remeng. Dalam realitas saat ini, kata koreografer Heri ‘Lentho’ Prasetyo, Panji Remang merupakan gambaran watak manusia yang samar-samar. Watak seperti itu untuk menipu diri atau siapa pun. "Sama halnya dengan kisah Petruk Jadi Ratu, Panji Remeng tak jauh dengan itu," kata Heri.

Ditambahkan Heri, dalam situasi politik sekarang ini, banyak orang yang ingin menjadi panji atau bangsawan dengan topeng-topeng yang remang-remang alias tidak jelas, termasuk caleg-caleg dengan topeng-topeng manisnya yang menutupi keburukannya.

“Panji Remeng merupakan kesatria yang tidak jelas asal usulnya, tidak jelas pandangannya, dan tidak jelas juga tentang wawasannya,” tambah, Heri Lentho.

Pertunjukan itu sendiri dibuka dengan keluarnya tokoh utama yang diperankan Tri Handoyo, cucu tokoh Topeng Malangan Mbah Karimun. Hanya mengenakan sarung dan bertelanjang dada, dia duduk dan sedang suntuk memahat topeng. Di belakangnya tertata bermacam topeng wajah pahatannya. Ada yang bermuka seram, cantik, juga yang tidak keruan. 

Dia terus memahat topeng dan tidak memedulikan keadaan di sekitar sampai datanglah seorang dewa. Dia tetap terpaku pada pahatan itu. Baru setelah muncul seorang wanita membawa tampah dan mendekatinya, si pemahat topeng merespons. Wanita yang sedang kulakan rai (topeng) itu bertransaksi dengan si pemahat topeng. 

Dalam pertunjukan itu, ada komposisi cermin yang ditempatkan di tengah-tengah penonton oleh si wanita pembawa tampah. Dia rupanya menawarkan topeng kepada penonton. Suasana bertambah hidup ketika para pemusik di panggung memainkan kuali dengan lubang yang ditempeli kaca. Sinarnya dipantulkan ke arah penonton. Maka, tercipta ekspresi-ekspresi spontan penonton.

Tata pentasnya pun syarat dengan simbol. Sebelah kiri dipajang topeng-topeng dengan wajah cantik dan tampan, sedangkan di sebelah kanan dipampang topeng-topeng dengan wajah seram. “Untuk menarik simpati rakyat, seorang caleg membutuhkan topeng,” tutur perupa Toyib Tamsar. 

Tinggal topeng mana yang dipilih, tambahnya, jika memilih sebelah kanan, dia memilih jalur cepat seperti praktik perdukunan, jika topeng sebelah kiri yang dipilih dia menggunakan jalur halus, “main uang”. Untuk menarik simpatisan, banyak tokoh politik yang berdiri dibawah ketiak tokoh-tokoh lain yang dapat menarik hati rakyat. “Tokoh-tokoh lain ini juga sebagai topeng,” tuturnya.

Sementara itu, Handoyo yang selama ini biasa menari sebagai tokoh Panji Asmara Bangun, uniknya, dia sekarang justru dituntut untuk memerankan Panji Remeng yang dulunya adalah pengasuh Panji Asmara Bangun. “Tarian Panji Asmara Bangun biasanya memiliki patenan gerak, di sini saya harus belajar lagi,” jelas Handoyo.

Diterbitkan di Surabaya Post (Minggu, 7 Desember 2008)

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com