Rambutnya panjang digelung dan ditutup topi abu-abu kusam. Jenggotnya pun tak kalah panjang dan diselipi uban. Laki-laki tua tersebut keliling menjajakan air bersih ke warung-warung di sekitar gedung THR Surabaya. Dialah Eddy Pett (78), saksofonis grup band pengiring pertunjukan lawak Srimulat. Walaupun Srimulat sudah bubar, dia tetap setia dengan saksofonnya dalam grup musik keliling.
Oleh Asepta Yoga Permana
Siang itu, Eddy istirahat di sela-sela waktunya menjajakan air dengan ditemani sebuah gitar. Permainan gitar Eddy seperti menghipnotis para pemilik warung di THR terhanyut dalam alunan tembang Jawa yang dia dendangkan.
Menurut salah seorang pemilik warung tempat dia menjual air, Eddy tetaplah sosok seorang penghibur meski tak ada lagi pertunjukan Srimulat di THR. Dia lihai bermain musik, juga humoris. Orang kerasan ketika ngobrol dengannya.
Nama belakang Pett yang dia pakai ternyata julukan dari dua pekerjaan yang dia geluti. Pertama, dia pemain terompet (saksofon). Kedua, dia adalah penjual air pet, sebutan untuk air PDAM.
Jika menengok ke belakang, Eddy adalah sosok lelana. Sejak kecil dia sudah tidak mengenal kedua orangtuanya. Dia juga tak dapat mengingat nama-nama anaknya, “Lupa,” katanya. Dia hanya tahu punya empat anak dan sudah puluhan tahun tidak bertemu dengan mereka. Sedangkan istrinya, Rohana sudah meninggal.
Sebelum bergabung dengan Srimulat, dia bergabung dengan band-band mahasiswa atau instansi. “Saya ikut band mahasiswa, tapi saya bukan mahasiswa. Saya ikut band instansi, tapi saya sendiri bukan orang instansi,” guraunya. Dia cerita menekuni saksofon ketika di Jakarta. Dia belajar alat musik itu dari seorang musisi di Jakarta tapi ketika ditanya siapa nama gurunya itu, Eddy lagi-lagi susah mengingatnya. Saat itu dia menjadi musisi panggilan.
Dengan berbekal musik, Eddy mampu bertahan hidup. Eddy bergabung dengan Srimulat sekitar tahun 1980-an. Saat itu Srimulat masih sepi. Menginjak 1982, Srimulat di Surabaya mulai ramai hingga dua kali show. Eddy bergabung dengan Srimulat Show yang kemudian pergi ke Jakarta.
Selanjutnya, tahun 1984 Eddy bergabung dengan Srimulat Semarang. Ternyata di sini Srimulat sepi dan tahun 1990-an Eddy kembali ke Surabaya. Eddy bergabung lagi dengan Srimulat Surabaya. Tapi tak ubahnya dengan di Jakarta atau Semarang, Srimulat Surabaya juga sepi.
Demi mencukupi hidup, dia menerima saja ketika ditawari menjadi petugas cleaning service di Hi Tech Mall Surabaya. Eddy menuturkan, salah satu alasan dia diterima di mall tersebut karena dia bisa menghibur pekerja-pekerja lain. Eddy menjadi cleaning service selama tiga tahun.
Di sela waktunya yang longgar itu, dia pernah iseng bersepeda hingga ke Jakarta sekadar untuk refreshing. Perjalanan itu dia tempuh 4 hari 5 malam. Dia hanya berbekal uang Rp 20.000. “Waktu itu tidak sengaja, saya bersepeda ke arah barat la kok sampai Jakarta, jika sengaja malah gak kuat,” katanya tertawa.
Jika uang menipis, dia mengamen di sepanjang jalan. Sesampainya di Jakarta dia menjual sepedanya Rp 80.000. Dia tinggal di Jakarta hanya dua hari kemudian kembali ke Surabaya nggandol truk.
Hingga saat ini, Eddy masih tergabung dengan grup band Srimulat sekalipun sepi order. Namun juga diminta bermain musik di acara-acara mantenan, Agustusan, dan hajatan lain. “Uang bisa dicari dengan cara lain, tapi yang penting saya tetap bisa bermain musik, karena musik bagi saya adalah segala-galanya,” ungkap lelaki yang mengaku bisa bermain saksofon, gitar, dan keyboard itu.
Berjualan air merupakan pekerjaan yang paling gampang dikerjakan untuk memenuhi warung-warung di sekitar THR Surabaya. “Gajian di Srimulat sekarang seperti pegawai negeri, diterima sebulan sekali,” katanya. “Itu karena Srimulat tampil di THR hanya sebulan sekali pada Jumat pekan terakhir,” selorohnya. “Srimulat kalah dengan televisi dan bioskop,” katanya lagi.
Eddy menjual air sehabis subuh hingga magrib. Penghasilan yang dia peroleh sekitar Rp 40.000 per hari. Air bersih diambil dari kantor THR.
Pernah menjadi suporter Jawa Timur dalam PON XVII di Kalimantan Timur dengan membawa perangkat musik. Di sana dia jadi korban pelemparan dengan botol air. Jika dilihat kehidupan sehari-hari dapat dinilai kurang layak. Eddy hanya tinggal sendiri di ruko belakang gedung Srimulat dengan ukuran 3 kali 3 meter. Tumpukan kardus dan beberapa bendera menghiasi kamar seniman itu. Sebuah foto Presiden Sukarno dia pajang di dindingnya. Kondisi kamar yang berantakan menggambarkan kehidupannya yang tidak terurus.
Salah satu harapan yang selama ini dia cita-citakan adalah bisa menurunkan kemampuannya bermain saksofon kepada orang lain. Hingga kini belum ada orang tertarik belajar meniup saksofon. Eddy mengungkapkan salah satu kendala yang muncul adalah mahalnya harga dari alat musik itu.
Saksofon milik Eddy miliki sudah usang. Itu pun dia beli bekas 15 tahun lalu. Kini untuk mengisi waktu senggang Eddy bermain musik bersama teman-temannya sambil cangkrukan. Dengan cara itu dia berharap ada orang tertarik belajar saksofon.
Diterbitkan di Surabaya Post (Jumat, 26 September 2008)
0 comments:
Posting Komentar